Cinta Adalah

Mengapa Feist sangat menyenangkan bagiku ya?, ah barangkali ia memang terkutuk untuk menarikku dengan suaranya yang brilian. Betapa pun la meme histoire sekali waktu kudengar sekitar 5 tahun lalu, tapi lagu ini tetap mengiringiku kapan pun aku mau. Adakalanya aku ingin berbicara tentang cinta, ketika lirik-lirik Feist itu makin mengerubungi diriku. Tentu saja, aku ingin menjauh untuk berbicara tentang cinta yang melankolis, pikirku. Lebih mendebarkan jika aku bisa mengungkit tentang cinta yang mempunyai “ruh hidup” di dalamnya, seperti cinta di dalam novel Gabriel Garcia Marques, tentang cinta Florentino Ariza kepada Fermina Urbino.

Cinta mereka sebenarnya konyol, luput dari adegan kekinian, dan agak ngilindur pada bagian bagaimana kesetiaan yang remuk, melampiaskan hasratnya secara berlebihan kepada hati yang lainnya. Cinta anonymous mereka ujung-ujungnya kita kenal sebagai cinta sejati. Skenario yang panjang saat menceritakan cinta ini, kadang menjengkelkan untuk diikuti, apalagi kesensitifannya mulai naik ke permukaan di akhir cerita, aku merasa dibayangi oleh rententan cinta yang menyayat hati di sana. Orang yang romantis sekali pun, mempertanyakan penantian Florentino bertahun-tahun, demi seorang gadis anak keturunan bangsawan, Fermina. Shakespeare juga akan tergelitik melihat Florentino tak jauh bedanya dengan Romeo di Verona.

Itulah karangan cinta, dikhayal seenaknya, seperlunya, bahkan sedramatis-dramatisnya. Masa-masa cinta yang bersemi bukan terjadi ketika hujan turun, atau di sebuah pertemuan yang dihiasi oleh musik-musik yang melow. Ia datang, dan tumbuh justru saat-saat seseorang atau si pelaku melewati peristiwa paling suram di hidupnya. Cinta itu bak membelai hati yang perih semenjak perpisahan yang tiada sanggup dihentikan. Ada kelegaan tampak berbinar yang menggerayangi kedua mata. Ya, Florentino adalah subyek yang tak tergantikan, ia tuliskan cinta pada puluhan surat. Kalimat-kalimatnya memperdaya,  dan ditunggu-tunggu oleh setiap wanita. Dia tidak mengobral cinta, karena dia mengerti bahwa cinta, sepenuhnya adalah ungkapan perasaan yang tiada boleh dipermainkan. Jika pun perasaan itu harus mengungkapkan kemalangan, maka biarlah bait-bait cinta yang menjelaskan secara simpatik, anggapnya.

Enggan bagiku menganalogikan perasaan Florentino yang dihajar habis-habisan oleh asmara yang kandas dengan orang-orang yang lainnya. Karena, akan menjadi tak wajar, ketika aku berupaya dengan segala macam cara untuk mengkonstruksi serpihan-serpihan kisah Florentino melalui kisah-kisah picisan, di bawah bayang-bayang ketegaran Florentino. Fermina yang cantik memang pantas bagi Florentino yang suram, romantis dan flamboyan. Ketika keriput-keriput kulit yang menyelimuti pipi semakin jelas, toh cinta masih kelihatan hangat dan bersinar di muka mereka.

Pusara waktu mentasbihkan takdir yang mengharukan bagi mereka, ya bagi mereka yang telah lama saling bersaut dengan suara parau memanggil-manggil cinta dalam hati. Aku bergumam tiada percaya akan semua itu. Kisah itu seolah mengguruiku, bahwa cinta di dunia ini tak sama. Artinya bahwa, cinta itu bukan seperti pertumbuhan klasik, datang, bersemi, dan mati. Harus kuakui, bahwa pada cinta Florentino kepada Fermina kutemukan kembali makna cinta yang sesungguhnya, datang, bersemi, kandas, bersemi lagi, dan abadi, sehidup semati.